Sabtu, 06 April 2013

KAMOKSAN

transendence      Mendengar istilah Mahrifat,  mungkin dikatakan suatu yang asing, namun pada dasarnya adalah sesuatu yang menarik jika didekatkan pada sebuah agama monotheism (islam) sebagai pemilik kata tersebut. Sebuah konsep unik pula tentang arti Manunggaling Kawulo Gusti sebagai sebuah kalimat yang berasal dari istilah “kejawen”. Sebuah kemanunggalan dengan “Gusti”. Tentunya dalam arti unik dan secara privasi dalam hubungannya ke pada “Yang Penguasa” alam ini.
Dalam hubungannya dengan suatu tingkatan ilmu pemahaman dan pengabdian kepada Sang Ilah, sesungguhnya mencapai suatu kata mahrifat dikatakan sebagai suatu ketersulitan tersendiri. Dalam hal ini Ia setidaknya menapaki pada tingkatan-tingkatannya. Sebelum mencapai suatu kata Mahrifat, maka paling tidakumat islam harus menjalani syariat, mengenal tarikat,mendapatkan hakikat, kemudian menuju suatu kemahrifatan. Tingkat syariat adalah pada suatu laku lahir termasuk pula pada tarikat. Syariat adalah laku dalam ritualnya serta larangan dan suruhanNya, kemudian tarikat menuju suatu pemahaman tersendiri dan melakukan paham syariat dalam kehidupan,termasuk juga wirid, zikir, dsb.
Suatu pemahaman yang terkadang kontradiktif jika mempertemukan seorang yang syariat, yang kemudian bertemu seorang penekun mahrifat. Dan seringnya malah hal itu memberikan sebuah konflik tersendiri. Seperti pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir yang memberikan pemahaman tersendiri dimana syariat bertemu Mahrifat. Dan pula bagaimana Syeh jenar dalam pemahamannya sendiri tidak dipahami oleh awam termasuk pula para wali songo yang notabene sudah paham sekali tentang ajaran Islam. Tergambar pula bagaimana Al Hallaj menyebutkan Anna Al-Haqq, yang berarti “Akulah Kebenaran” yang menuju pada suatu yang tidak diberikan oleh pemahaman awam. Dalam artian bahwa paham Mahrifat atau yang dekat dengan sufistik serta yang dikatakan Manunggal menjadi sesuatu yang tidak diberikan secara gamblang kepada khalayak ramai.
Bagaimana mungkin Allah menjadi diri manusia, bagaimana mungkin Allah mau turun kepada diri manusia,atau bahkan mampukah kau mencipta seperti layaknya Allah,itu yang mungkin diberikan sangkaan yang tiada boleh Allah diganggu gugat sedemikian rupa. Islam dalam hal ini tidak memberikan celah untuk menjadikan Allah sekutuNya kepada siapa pun. Jadi memang dalam kenyataan, bahwa paham itu dirahasiakan bagi pemiliknya sendiri.Aliran-aliran yang dekat dengan ini, adalah paham sufisme, yang bahkan beberapa berkata Sufi adalah islam yang berbaju weda.
Dalam hal ini,Hindu sendiri adalah sebagai agama yang kaya akan pemahaman “Hyang Agung”. Dalam sabdanya di Bhagawadgita menyebutkan,jalan manapun yang kau jalani untuk menyembahKu, maka Aku akan terima. Di hindu tersendiri menetapkan ada empat jalan yang memiliki konsep tersendiri. Bhakta, Karmin, Jnanin, Raja Marga. Terlepas dari cara-cara itu, maka disadari atau tidak perjalanan memujaNya sebagai sebuat “way of life”.  Kata-kata “Aham Brahman Asmi”, atau “Tat twam Asi”, adalah kata-kata yang terbiasa di telinga serta di “rasa” seorang Hindu. Karena memang dalam prinsip Monisme atau Pantheism bahwa Brahman ada dimana-mana, serta dimana-mana adalah brahman, menjadi suatu paham yang memberikan rasa takjub dan termasuk mencintai kehidupan(alam semesta) itu sendiri. Dan tidak ada ketidakberbolehan untuk mewujudkan Brahman itu sendiri, sebagai manifestasi Sang Acintya. Dapat dikatakan sebuah kebebasan mewujudkan adalah tanda akan kedekatanNya kepada pemelukNya itu sendiri. Tidak akan Ia marah atau merasa direndahkan karena mewujudkanNya. Malah itu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri jika bisa mewujudkanNya dan sekaligus memujaNya.Satu hal yang pasti adalah, tidak ada WujudNya yang tidak dikenal atau bukan manifestasinya, maksudnya adalah tidak ada dewa kerbau, jika pada perjalanan suatu evolusi agama tidak ada namanya dewa berwujud kerbau. Shiva atau Ganesha menjadi suatu manifest/bentukNya yang telah ada di sejarah itu sendiri
Hal ini tergambar pula pada kebijaksanaan pada penyebutanNya, yang tergambar pada “Ekam sat wiprah Bahuda Wadanti”.Seorang bijak akan menyebutNya dengan berbagai nama, karena keluasan dan kemahakuasaanNya itu. Seperti jika diterjemahkan secara fungsi, Dewa Siwa dikatakan sebagai pelebur, penghukum, atau DewaYama sebagai Yang Maha Adil, atau Wisnu sebagai pemelihara semesta. Kalau di Islam yang tidak diperkenankan mewujudkanNya, sebenarnya telah memiliki 99 nama Allah (asma ul Husna) yang terdapat Al-Adl sebagai Allah yang Maha Adil, Al Muaimin sebagai pemelihara, atau pula Al-Khalik yang merupakan nama Allah sebagai Pencipta semesta. Memang tidak ada wujud dalam bentuk rupa, namun dalam simbol-simbol huruf atau lukisan kaligrafi dapat diperlihatkan sebagai bentuk estetika akan keagungan namaNya.
Dalam wilayah seni,maka seorang sufistik menemukan jalan yang dekat dengan berolah puisi sebagai tunjuk atas kedekatanNya kepada Ilahiah. Sebagai contoh puisi berikut
Sabda Rasul Allah Nabi kamu
Lima’a Allahi sekali waktu
Hamba dan Tuhan menjadi Satu
Inilah ‘arif bernama tahu
Kata Bayazid terlalu ‘ali
Subhani ma a’zama sya’ni
Inilah ilmu sempurna fani
Jadi senama dengan Hayyu al-Baqi
Kata Mansur penghulu ‘Asyiq
Ia itu juga empunya natiq
Kata siapa ia la’iq
Mengatakan diri akulah khaliq
Dengarkan olehmu hai orang yang kamil
Jangan menunut ilmu yang batil
Tiada bermanfaat kata yang jahil
Ana al-Haq Manshur itulah washil
Hamzah Fansuri terlalu karam
Ke dalam laut yang maha dalam
Berhenti angin ombaknya padam
Menjadi sultan pada kedua alam:
(http://syairsyiar.blogspot.com/2008/05/puisi-puisi-sufi-syeikh-hamzah-al.html)
Dalam hal ini pun dalam islam masih terjadi suatu perdebatan tersendiri akan kesesatan dari jalan sufism, tassawuf. Namun sebuah puisi dengan keindahan serta estetikanya itu sendiri, memiliki nilai mistik jika menghayatinya secara mendalam. Mungkin pula dalam “way of life-nya” bahwa seorang sufi menunjukkan takjub serta sujudnya kepada kekuatan Agung yang “benar” adalah dengan puisi itu sendiri. Agar itu sebagai keindahanNya dapat diterima oleh awam.
Jika dilihat pada Wadahtul wujud, maka mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Hal ini dikatakan jugasebagai Wahdatul Syuhud yang berarti kita dan semua bagian dari dzat Tuhan /Allah. Hal ini sangat riskan jika didekatkan pada suatu pemahaman awam tentang Tuhan itu sendiri. Pada suatu paham Ke”Hindu”an itu bisa dikatakan sejalan dengan Atma tattwa, bahwa memang dalam setiap mahluk, manusia, bahkan semesta merupakan Ia semata. Sang Brahman. Dan kita hanyalah dan sebagai percikan dari Hyang Kuasa itu sendiri. Riskan dalam hal ini, pada manusia yang menganggap awam, hanya akan menimbulkan suatu emosi dan dikatakan akan merendahkan kekuatan Agung itu sendiri. Padahal untuk mengenal IA maka diperlukan sedikit ruang yang hanya Ia yang “mampu” dalam mengalahkan musuh diri. Musuh dalam diri sendiri yang terlalu berprasangka dan bahkan memenjarakan IA.
Memang dunia adalah sebuah dunia rwa bhineda, sebuah yin dan yang. Dan bagaimana seorang bijak dapat memberikan dirinya sendiri suatu kemoksaan sebagai tujuan akhir di dunia atau di alam nanti, adalah terlepasnya ia dari nafsu, lobha, keserakahan, dan tunduk pada sifatNya yang sempurna untuk tidak mengidolakan keduniawian yang “maya”. Sebuah kebahagiaan dan kesejahteraan batin yang akan muncul dan menjadikan keesokan hari sebuah karma baik untuk dengan nyaman dijalani sebagai suatu kemenangan akan hidup itu sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar